BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pada proses
pembelajaran yang umum terjadi di masa kini dan masa lalu, guru selalu
menempatkan siswa sebagi pribadi-pribadi yang tersendiri dan tidak saling
terhubung. Mereka dibiarkan menjalani sendiri-sendiri nasib mereka sebagai pembelajar. Yang pintar akan pintar sendirian, yang kurang beruntung akan
nampak bodoh juga sendirian. Hal ini tentu terkait dengan cara evaluasi yang
dilakukan guru. Pada ujung evaluasi siswa akan menerima raport secara personal.
Oleh karena itu, guru akan selalu menempatkan siswa sebagai individu yang saling terpisah, pun begitu tugas-tugas sekolah yang mereka
berikan. Tugas yang biasanya berbentuk PR pun akan berupa pekerjaan rumah yang
dikerjakan sendiri-sendiri. Memang benar ada sesekali guru memberi tugas
kelompok, namun tugas kelompok ini tidak disertakan aturan main yang jelas,
sehingga tugas kelompok yang harusnya dikerjakan berkelompok cukup dikerjakan
salah satu dari anggota kelompok dan dinamai ramai-ramai. Setelah dikerjakan
guru pun tidak terlalu peduli apakah itu hasil kerja kelomok atau bukan.
Di masa datang guru harus
membentuk atmosfir yang bisa menyuburkan kerja kelompok di dalam kelas. Kerja
kelompok bukan saja akan membuat siswa belajar bersama dan saling tukar menukar
informasi, namun tugas kelompok akan membuat siswa belajar berorganisasi,
belajar management, mempertajam
kemampuan intra dan extra personalnya, memupuk kemampuan komunikasi, kemampuan
bekerjasama dan tidak kalah pentingnya mereka belajar bertanggung jawab dan
kemandirian. Banyak hal bisa dipelajari siswa dengan memberikan pekerjaan
kelompok kepada mereka. Inilah salah satu alasan
pentingnya pembelajaran kolaboratif.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula
dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar,
seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan
cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang
kehidupan nyata. Pemikiran
Dewey yang utama tentang pendidikan, adalah:
1. Siswa
hendaknya aktif, learning by doing.
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik.
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap.
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan
dan minat siswa.
5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan
prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting.
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia
nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Pembelajaran
kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan
praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology
for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif
para siswa dan meminimalisasi
perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah
momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu:
1. Realisasi
praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam
kehidupan di dunia nyata.
2. Menumbuhkan
kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif?
2.
Apa landasan filosofi
pembelajaran kolaboratif?
3.
Apa tujuan dari
pembelajaran kolaboratif?
4.
Apa manfaat dari
pembelajaran kolaboratif?
5.
Apa saja sifat-sifat
pembelajaran kolaboratif?
6.
Apa saja macam-macam pembelajaran
kolaboratif?
7.
Apa yang
dimaksud dengan teknik pembelajaran kolaboratif MURDER?
8.
Apa saja
langkah-langkah pembelajaran kolaboratif?
9.
Apa kelebihan
dan kekurangan pembelajaran kolaboratif?
10. Bagaimana contoh pembelajaran kolaboratif di dalam
kelas?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian pembelajaran kolaboratif.
2.
Mengetahui landasan
filosofi pembelajaran kolaboratif.
3.
Mengetahui
tujuan dari pembelajaran kolaboratif.
4.
Mengetahui manfaat dari pembelajaran kolaboratif.
5.
Mengetahui sifat-sifat pembelajaran kolaboratif.
6.
Mengetahui macam-macam
pembelajaran kolaboratif.
7.
Mengetahui
pengertian teknik pembelajaran kolaboratif
MURDER.
8.
Mengetahui
langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
9.
Mengetahui
kelebihan dan kekurangan pembelajaran kolaboratif.
10. Mengetahui contoh pembelajaran kolaboratif di kelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembelajaran Kolaboratif
Model
pembelajaran kolaboratif merupakan salah satu model “Student-Centered Learning”
(SLC). Pada model ini, peserta belajar dituntut untuk berperan secara aktif
dalam bentuk belajar bersama atau berkelompok.
Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada
metode pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat
kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan
bersama. Pengertian kolaborasi sendiri yaitu:
1. Keohane
berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain, kerja sama,
bekerja dalam bagian
satu tim, dan bercampur dalam
satu kelompok menuju keberhasilan bersama.
2.
Patel
berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan
fungsional dalam mencoba untuk keterampilan koordinasi, to coordinate
skills, tools, and rewards.
3.
Duin, Jorn,
DeBower, dan Johnson mendefinisikan “collaboration”
sebagai suatu proses di mana dua orang atau lebih merencanakan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama.
Dari pengertian
kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian pembelajaran kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di
mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil
ke arah
satu tujuan. Dalam kelompok ini para siswa saling membantu antara satu dengan
yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada unsur ketergantungan yang
positif untuk mencapai kesuksesan. Pendapat
lain mendefinisikan pembelajaran kolaboratif sebagai
filsafat pembelajaran yang memudahkan para siswa bekerja sama, saling membina,
belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Dalam situs Wikipedia,
collaborative learning atau pembelajaran kolaboratif diartikan sebagai
situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar atau berusaha untuk
belajar sesuatu secara bersama-sama.
Schrage menyatakan pembelajaran
kolaboratif melebihi aktivitas bekerjasama (kooperatif) kerana ia
melibatkan kerjasama hasil penemuan dan hasil yang didapatkan daripada sekedar
pembelajaran baru. Menurut Jonassen,
seperti halnya pembelajaran kooperatif, pembelajaran kolaboratif juga dapat
membantu siswa membina pengetahuan yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan
pembelajaran secara individu. Inti pembelajaran kolaboratif adalah bahwa para
siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota kelompok saling
belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok
adalah keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.
Metode
kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai proses
belajar siswa sebagai berikut:
1.
Belajar itu aktif dan
konstruktif
Untuk mempelajari bahan
pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Siswa perlu
mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya, atau menggunakan materi baru untuk
menata kembali apa yang mereka pikir mereka sudah tahu. Siswa membangun makna atau menciptakan hal baru
yang terkait dengan bahan pelajaran. Tindakan
pemrosesan intelektual ini – membangun, menilai, menciptakan sesuatu yang baru-
adalah penting dalam pembelajaran.
2.
Belajar itu bergantung
konteks
Penelitian terbaru mengatakan bahwa
pembelajaran secara mendasar dipengaruhi oleh konteks dan aktivitasnya
(Brown, Collins and Duguid, 1989 dalam Smith andMacGregor, 2011). Pembelajaran kolaboratif menekan siswa dalam tugas-tugas
atau pertanyaan-pertanyaan yang menantang. Kegiatan model
pembelajaran ini tidak dimulai dengan fakta-fakta dan gagasan dan kemudian bergerak ke
aplikasi, melainkan dimulai dari permasalahan. Untuk itu siswa harus menata
dengan baik fakta dan gagasan yang saling berkaitan. Alih-alih berperan sebagai
pengamat pertanyaan dan jawaban, atau masalah dan penyelesaian, siswa dengan cepat menjadi
praktisi. Konteks-konteks yang kaya, menantang siswa untuk mempraktikkan dan mengembangkan alasan-alasan dan keahlian
menyelesaikan masalah yang
tingkatannya lebih tinggi .
3.
Siswa itu beraneka latar
belakang
Para siswa mempunyai
perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang, gaya belajar, pengalaman,
dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerja
sama, dan bahkan diperlukan
untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
4.
Belajar itu bersifat sosial
Proses
belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun
makna yang diterima bersama. Pembelajaran
kolaboratif menghasilkan sinergi intelektual dari banyak pemikiran yang datang
untuk menyelesaikan suatu masalah, dan stimulasi sosial dari hubungan
timbal balik dalam suatu usaha. Ekspolarasi, penilaian, dan feed back
yang timbal balik menghasilkan pemahaman lebih baik pada sebagian siswa, dan pada penciptaan
pemahaman baru untuk seluruh siswa
dan guru.
Menurut Piaget
dan Vigotsky, strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya
tiga teori, yaitu :
1.
Teori Kognitif
Teori ini berkaitan
dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran
kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu
pengetahuan pada setiap anggota.
2.
Teori Konstruktivisme Sosial
Pada teori ini terlihat
adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan
individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok.
3.
Teori Motivasi
Teori ini
teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran
tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar,
menambah keberanian anggota untuk memberi pendapat, dan menciptakan
situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.
Piaget
dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa belajar
lebih baik jika mereka berpikir secara kelompok. Piaget juga berpendapat
bila suatu kelompok aktif,
kelompok tersebut akan
melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih
menarik.
Berikut sejumlah strategi yang
diajukan oleh Howard untuk membantu siswa
fokus pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:
1.
Membagikan secara tertulis petunjuk
pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim. Petunjuk itu dibuat detail agar
pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakannya. Dengan cara
demikian, siswa tidak hanya menyandarkan pada
ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota kelompok.
2. Membuat schedule
untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi: tanggal
penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika schedule
telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan
berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama guru dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan
pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
3. Mendiskusikan
dengan siswa dan memberikan lembaran evaluasi yang dapat digunakan
untuk menilai aspek-aspek kegiatan kelompok. Ini
berguna untuk membantu siswa memahami
bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
4. Mengusahakan
setiap anggota kelompok memiliki
buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam bagian-bagian guna mengorganisasikan
kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran tugas, petunjuk pelaksanaan
kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian depan buku
catatan siswa.
B. Landasan
Filosofi Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran
kolaboratif didasarkan pada landasan konstruktivisme
sosial. Selain itu kondisi kolaborasi diperlukan pada kondisi
dunia saat ini. Silberman menyatakan bahwa pada saat ini siswa
dihadapkan pada ledakan pengetahuan, perubahan yang cepat, dan
ketidakpastian. Untuk menghadapi dunia yang seperti itu diperlukan
kehidupan berkelompok. Hidup berkelompok akan menumbuhkan rasa aman,
sehingga memungkin menghadapi berbagai perubahan bersama-sama. Untuk itulah perlu pembelajaran berkelompok.
Vygotsky (1896-1934) , salah
satu pengagas konstruktivisme sosial, yang terkenal dengan teori “Zone of
Proximal Development” (ZPD). ”Proximal” dalam bahasa sederhana
bermakna “next“. Vygotsky mengamati, ketika anak diberi tugas untuk
dirinya sendiri, mereka akan bekerja
sebaik-baiknya ketika mereka bekerjasama (berkolaborasi). Selanjutnya Vygotsky
menyatakan, setiap manusia mempunyai potensi, dan potensi tersebut dapat
teraktualisasi dengan ketuntasan belajar, tetapi di antara potensi dan
aktualisasi terdapat wilayah abu-abu. “Guru berkewajiban menjadikan
wilayah abu-abu ini dapat teraktualisasi, caranya dengan belajar kelompok.
Dalam bahasa yang lebih umum, terdapat tiga wilayah “cannot yet do”, “can
do with help“, and “can
do alone“. ZPD adalah wilayah “can do with help”, wilayah ini bukan wilayah yang permanen,
kuncinya adalah menarik siswa dari zona
tersebut, dengan cara kolaborasi.
C.
Tujuan Pembelajaran
Kolaboratif
Dalam penerapan
pembelajaran kolaborasi, terdapat pergeseran peran siswa, yaitu:
1. Dari
pendengar, pengamat dan pencatat menjadi pemecah masalah yang aktif, pemberi
masukan dan suka diskusi.
2. Dari
persiapan kelas dengan harapan yang rendah atau sedang, menjadi ke persiapan
kelas dengan harapan yang tinggi.
3. Dari
kehadiran pribadi atau individual dengan sedikit resiko atau permasalahan, menjadi kehadiran
publik dengan banyak resiko dan permasalahan.
4. Dari
pilihan pribadi menjadi pilihan yang sesuai dengan harapan komunitasnya.
5. Dari kompetisi antar teman sejawat menjadi kolaborasi
antar teman sejawat.
6. Dari tanggung jawab dan belajar mandiri, menjadi
tanggung jawab kelompok dan belajar saling ketergantungan.
7. Dahulu melihat guru dan teks sebagai sumber utama
yang memiliki otoritas dan sumber pengetahuan, sekarang guru dan teks bukanlah
satu-satunya sumber belajar. Banyak sumber belajar lainnya yang dapat digali
dari komunitas kelompoknya.
Belajar
kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula
sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu
melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas
untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan diselesaikan secara bersama
tanpa membedakan percakapan belajar siswa.
Dari uraian di atas, kita bisa
mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar kolaboratif yaitu bagaimana cara
agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi adanya kerjasama,
interaksi, dan pertukaran informasi.
Selain itu,
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah sebagai
berikut :
1. Memaksimalkan proses kerja sama yang berlangsung
secara alamiah di antara para siswa.
2. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat
pada siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerja sama.
3. Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan
pengalaman siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
4. Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan
aktif dalam proses belajar.
5. Mengembangkan berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah.
6. Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan
bermacam-macam sudut pandang.
7. Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses
belajar.
8. Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling
menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
9. Membangun semangat belajar sepanjang hayat.
D. Manfaat Pembelajaran
Kolaboratif
Manfaat dari pembelajar kolaboratif adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan pengetahuan anggota kelompok karena interaksi dalam kelompok merupakan
faktor berpengaruh terhadap penguasaan konsep.
2. Siswa belajar memecahkan masalah bersama dalam kelompok.
3. Memupuk rasa
kebersamaan antarsiswa, setiap individu tidak dapat lepas dari kelompoknya,
mereka perlu mengenali sifat dan pendapat
yang berbeda, serta mampu
mengelolanya.
4. Meningkatkan
keberanian memunculkan ide atau pendapat untuk memecahkan masalah bagi setiap siswa yang diarahkan untuk mengajar atau memberi tahu
kepada teman kelompoknya jika mengetahui dan menguasai permasalahan.
5. Memupuk rasa
tanggung jawab siswa dalam
mencapai suatu tujuan bersama dalam bekerja agar tidak terjadi tumpang tindih
atau perbedaan pendapat yang prinsip.
6. Setiap
anggota melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok
yang merasa memiliki tanggung jawab karena kebersamaan dalam belajar sehingga mereka memperhatikan kelompoknya.
E. Sifat-Sifat
Pembelajaran Kolaboratif
Ada empat sifat-sifat umum yaitu dua perkara berkenaan dengan perubahan hubungan antara
guru dan siswa, yang ketiga berkaitan dengan pendekatan baru penyampaian
guru dan yang keempat menyatakan isi kelas kolaboratif.
1.
Berbagi
informasi antara siswa dan guru
Dalam kelas tradisional, guru
sebagai pemberi informasi yang mutlak di mana aliran informasi bergerak satu
arah saja yaitu dari guru ke siswa dan sedikit sekali dari siswa kepada
siswa yang lain. Guru dianggap mempunyai pengetahuan tentang isi mata
pelajaran, keahlian, dan pengajaran. Siswa hanya menunggu arahan yang akan
diberi oleh guru. Siswa yang memberi reaksi yang berbeda dianggap sebagai
pengganggu di dalam kelas, begitu juga untuk siswa yang tidak memahami
atau membantah arahan.
Akan tetapi berlainan dengan pembelajaran kolaboratif, siswa menilai dan sentiasa
membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, pembinaan bahasa komunikasi,
strategi dan konsep pengajaran pembelajaran sesuai teori, menggabung keadaan
sosiobudaya dengan situasi pembelajaran.
2.
Pembagian kekuasaan
Dalam pembelajaran
kolaboratif, guru berbagi kekuasaan otoritas dengan siswa, dalam beberapa keadan tertentu. Kebanyakan dalam
kelas tradisional guru bertanggung jawab
menetapkan arah, memberi dan mengatur kerja, melihat perjalanan tugas serta menilai
apa yang diajarkan. Pembelajaran kolaboratif memberi peluang siswa memahami apa
yang telah diajar dalam ruang lingkup yang ditetapkan oleh guru. Guru
menyediakan tugas yang sesuai arahan dan kegemaran siswa dan mengajak siswa untuk menilai apa yang diajar. Mengajak siswa menimba pengalaman mereka sendiri,
memastikan siswa berbagi strategi dan informasi,
menghormati siswa lain, mendukung siswa mengemukakan ide-ide yang brilian, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta
memupuk dan mengajak pelajar
mengambil bagian secara terbuka dan bermakna.
3.
Guru
sebagai perantara (mediator)
Peranan guru di kelas sebagai
perantara, ia menolong menghubungkan
informasi baru dengan pengalaman yang ada dan membantu siswa bila siswa kehabisan ide.
4. Kelompok siswa yang heterogen
Perkembangan pengalaman siswa adalah
penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada pembelajaran kolaboratif, siswa
menunjukkan kemampuan mereka, menyumbang informasi dan
mendengar atau membahas sumbangan informasi siswa lain.
Salah satu sifat pembelajaran kolaboratif ialah siswa tidak diasingkan dari usaha,
tingkat pencapaian, kegemaran dan penilaian. Berbeda dengan kelas
non-kolaboratif, perlombaan yang bersifat individual akan melemahkan
semangat bekerjasama dan menyekat peluang siswa belajar melalui
berinteraksi secara bermakna dan berkesan. Siswa yang lemah tidak ada
peluang untuk belajar dari siswa yang pintar atau sebaliknya. Guru yang
mengajar di kelas yang dikelola secara kolaboratif dapat melihat perkembangan
siswa yang lemah dengan jelas dan terarah.
Myers memandang collaborative learning sebagai
pembelajaran yang berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi
metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue antara
siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan masyarakat dan lingkungannya. Siswa dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang
mengajar sebagai "percakapan" di mana guru dan siswa belajar
bersama-sama melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola
belajar kolaborasi memiliki enam
karakteristik, yakni:
1.
Anggota kelompok berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran
2.
Di antara anggota kelompok saling
memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi
3.
Para anggota kelompok saling menanyakan untuk lebih mengerti secara
mendalam
4.
Tiap anggota kelompok memberikan kesempatan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi
masukan
5.
Kerja tim dipertanggungjawabkan ke
(orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan
6.
Di antara anggota kelompok ada saling
ketergantungan
Ada sejumlah faktor yang perlu
diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran siswa dan peran guru. Peran siwa yang harus dikembangkan adalah:
1.
Mengarahkan, yaitu menyusun rencana
yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang
dihadapi
2.
Menerangkan, yaitu memberikan
penjelasan atau kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain
3.
Bertanya, yaitu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui
4.
Mengkritik, yaitu mengajukan
sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan yang
diajukan
5.
Merangkum, yaitu membuat kesimpulan
dari hasil diskusi atau penjelasan yang diberikan
6.
Mencatat, yaitu membuat catatan
tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh kelompok, dan
7.
Penengah, yaitu meredakan konflik
dan mencoba meminimalkan ketegangan yang terjadi antara anggota kelompok.
Dalam kerja kolaboratif, siswa berbagi tanggung jawab yang digambarkan dan yang
disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi:
1.
Kesanggupan
untuk menghadiri, kesiapan dan tepat waktu untuk memenuhi kerja tim
2.
Diskusi dan perselisihan paham
memusatkan pada masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi,
dan
3.
Ada tanggung jawab tugas dan
menyelesaikannya tepat waktu. Siswa boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan
pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya
yang penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.
Peran-peran yang harus dihindari
oleh pebelajar adalah:
1.
Free-rider, yaitu
membiarkan teman-temannya melakukan tugas kelompok, tanpa
berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi
2.
Sucker, yaitu
tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi
pengetahuan yang dimilikinya
3.
Mendominasi, yaitu
menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggota kelompok yang lain tidak optimal
4.
Ganging up on task, yaitu
cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk
menyelesaikannya
Dalam pembelajaran kolaborasi, guru tidak lagi memberikan ceramah di depan kelas, tapi
dapat berperan seperti:
1.
Fasilitator, dengan menyediakan
sarana yang memperlancar proses belajar dengan mengatur
lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi,
menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan
tingkah laku tertentu, dan merancang tugas
2.
Model, secara aktif berupaya
menjadi contoh dalam melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan
penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran secara verbal (think
aloud) yang dapat membantu proses konstruksi pengetahuan
3.
Pelatih (coach), memberikan
petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap upaya belajar siswa. Siswa tetap
mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh masukan dari guru.
F.
Macam-Macam
Pembelajaran Kolaboratif
Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah
dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para
ahli Student Team Learning pada John Hopkins University. Tetapi
hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu :
1.
Learning
Together
Dalam metode ini
kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya.
Tiap kelompok bekerja sama
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set
lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja
kelompok.
2.
Teams-Games-Tournament (TGT)
Setelah belajar bersama
kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota
kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian
didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
3.
Group Investigation (GI)
Semua anggota kelompok
dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan
masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan
siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya
di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja
kelompok.
4.
Academic-Constructive Controversy
(AC)
Setiap anggota kelompok
dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang
dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota
sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran
kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan.
Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
5.
Jigsaw Procedure (JP)
Dalam bentuk
pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang
suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok
bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada
rata-rata skor tes kelompok.
6.
Student Team Achievement Divisions
(STAD)
Para siswa dalam suatu
kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap
kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah
keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan
demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan
individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual
maupun kelompok.
7.
Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran ini
menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya
dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya adalah
menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok bahasan.
Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual
(menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen.
Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
8.
Team Accelerated Instruction (TAI)
Bentuk pembelajaran ini
merupakan kombinasi antara pembelajaran kolaboratif dengan pembelajaran
individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal yang
harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian
bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan
benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang
siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus
menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun
berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar
individual maupun kelompok.
5.
Cooperative Learning Stuctures
(CLS)
Dalam
pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa
(berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain
menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab
oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau
skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah
ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
6.
Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Model
pembelajaran ini mirip dengan Team Accelerated
Instruction. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran
membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling
menilai kemampuan membaca, menulis, dan tata bahasa, baik secara tertulis
maupun lisan di dalam kelompoknya.
Modern Methods Of
Cooperative Learning
Researcher-Developer
|
Date
|
Method
|
Johnson
& Johnson
|
Mid
1960s
|
Learning
Together & Alone
|
DeVries
& Edwards
|
Early 1970s
|
Teams-Games-Tournaments
(TGT)
|
Sharan
& Sharan
|
Mid
1970s
|
Group
Investigation
|
Johnson
& Johnson
|
Mid
1970s
|
Constructive
Controversy
|
Aronson
& Associates
|
Late
1970s
|
Jigsaw
Procedure
|
Slavin
& Associates
|
Late
1970s
|
Student Teams
Achievement Divisions (STAD)
|
Cohen
|
Early
1980s
|
Complex
Instruction
|
Slavin
& Associates
|
Early
1980s
|
Team
Accelerated Instruction (TAI)
|
Kagan
|
Mid
1980s
|
Cooperative
Learning Structures
|
Stevens, Slavin,
& Associates
|
Late 1980s
|
Cooperative
Integrated Reading & Composition (CIRC)
|
Seberapa pun
banyak macam metode pembelajaran kooperatif/ kolaboratif yang pernah
dikembangkan para ahli, Slavin
merinci enam karakteristik dasar masing-masing, yaitu:
1.
Tujuan kelompok (group
goals)
2.
Tanggung jawab
individual (individual accountability)
3.
Kesempatan yang sama
untuk mencapai
keberhasilan (equal opportunities for success)
4.
Kompetisi antarkelompok
(team competition)
5.
Pengkhususan tugas (task
specialization)
6.
Adaptasi terhadap
kebutuhan-kebutuhan individu (adaptation to individual needs).
Keterampilan
yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model pembelajaran
kolaboratif adalah:
1. Pembentukan kelompok
2. Bekerja dalam satu kelompok
3. Pemecahan masalah kelompok
4. Manajemen perbedaan kelompok
Menurut Reid,
dalam
menggembangkan collaborative learning ada lima tahapan yang harus
dilakukan, yaitu:
1.
Engagement
Pada
tahap ini, guru melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan
kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa dikelompokkan
yang di dalamnya terdapat siswa terpandai, siswa sedang, dan siswa yang rendah
prestasinya.
2.
Exploration
Setelah dilakukan
pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas, misalnya dengan memberi
permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan masalah yang
diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan
berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya.
3.
Transformation
Dari perbedaan
kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu setiap anggota saling
bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, siswa yang
semula mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan
prestasinya karena adanya proses transformasi dari siswa yang memiliki prestasi
tinggi kepada siswa yang prestasinya rendah.
4.
Presentation
Setelah selesai
melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok mempresentasikan
hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan presentasi, maka
kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut,
dan menanggapi.
5. Reflection
Setelah selesai
melakukan presentasi, lalu terjadi proses tanya-jawab antar kelompok. Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima
pertanyaan, tanggapan ataupun sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan
yang diajukan oleh kelompok lain, anggota kelompok harus bekerjasama secara
kompak untuk menanggapi dengan baik.
Brandt menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar kerjasama
dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :
1.
Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)
Yaitu siswa harus
percaya bahwa mereka dalam
proses belajar bersama dan mereka peduli pada proses belajar siswa yang lain. Dalam
pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif
dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab
menguasai bahan pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun
menguasainya. Mereka merasa tidak
akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses.
2.
Verbal, face to face interaction (interaksi langsung
antarsiswa)
Yaitu hasil
belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa
yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan
dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Siswa juga harus
menjelaskan, berargumen, elaborasi, dan terikat terhadap apa yang mereka
pelajari sekarang untuk mengikat apa yang mereka pelajari sebelumnya.
3.
Individual accountability (pertanggungjawaban individu)
Yaitu setiap kelompok
harus menyadari bahwa mereka harus
belajar. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung, dan membantu satu sama
lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok
bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk
mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar
kelompok.
4.
Social skills (keterampilan berkolaborasi)
Yaitu
keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut
mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta
interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian
dari proses belajar kolaboratif. Siswa harus belajar dan diajar kepemimpian,
komunikasi, kepercayaan, membangun dan keterampilan dalam memecahkan konflik.
5.
Group processing (keefektifan proses kelompok)
Yaitu kelompok
harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan secara bersama dan
bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik. Siswa memproses keefektifan
kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang
belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang
dapat dilanjutkan atau yang perlu diubah.
Tiga pola pengelompokkan, yaitu :
1.
The two-person group (tutoring)
Yaitu satu orang
ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan sebagai pengajar yang
disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.
2.
The small group (interactive recitation; discussion)
Adalah cara
penyampaian bahan
pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan
pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah.
3.
Small or large group (recitation)
Yaitu suatu
metode mengajar dan guru
memberikan tugas untuk mempelajari sesuatu kepada siswa, kemudian melaporkan
hasilnya. Tugas-tugas yang diberikan oleh guru
dapat dilaksanakan di rumah, sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di
tempat lain.
G. Teknik Pembelajaran Kolaboratif MURDER
Pembelajaran MURDER
merupakan pembelajaran yang diadaptasi dari buku karya Bob Nelson “The Complete
Problem Solver ”. Teknik MURDER diartikan sebagai berikut :
1.
Mood
(Suasana Hati)
Mood atau suasana hati yang
positif, dapat memberikan semangat belajar yang besar sehingga konsentrasi
dalam belajar dapat berjalan lancar. Dan kita dapat menyerap apa yang sedang
dipelajari tanpa adanya gangguan dari fikiran-fikiran yang tidak penting untuk
difikirkan.
Proses pembelajaran adalah proses yang dapat mengembangkan
seluruh potensi siswa. Seluruh potensi itu hanya mungkin dapat berkembang ketika siswa terbebas dari rasa takut dan
menegangkan. Kecerdasan emosional ini berkaitan dengan pandangan kita tentang
kehidupan, kemampuan kita bergembira, sendirian dan dengan orang lain, serta
keseluruhan rasa puas dan kecewa yang kita rasakan. Hamzah menyatakan bahwa suasana hati umum juga memiliki dua skala,
yaitu sebagai berikut:
a. Optimisme, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
sikap positif yang realistis terutama dalam menghadapi masa-masa sulit. Dalam
pengertian luas, optimisme berarti makna kemampuan melihat sisi tentang
kehidupan dan memelihara sikap positif, sekalipun kita berada dalam kesulitan.
Optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam cara orang menghadapi kehidupan.
b. Kebahagiaan, yaitu kemampuan untuk mensyukuri
kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta
bergairah dalam melakukan setiap kegiatan.
Oleh karena itu perlu diupayakan agar proses pembelajaran
merupakan proses yang menyenangkan bisa dilakukan, pertama, dengan menata
ruangan yang apik dan menarik, yaitu yang memenuhi unsur-unsur kesehatan,
kedua, melalui pengelolaan yang hidup dan bervariasi yakni dengan menggunakan
pola dan model pembelajaran, media dan sumber belajar yang relevan.
2.
Understand
(Memahami)
Pemahaman
adalah mengerti benar atau mengetahui benar. Pemahaman dapat diartikan juga
menguasai tertentu dengan pikiran, maka belajar berarti harus mengerti secara
mental makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya,
sehingga menyebabkan siswa memahami suatu situasi. Hal ini sangat penting bagi
siswa yang belajar. Memahami maksudnya, menangkap maknanya, adalah tujuan akhir
dari setiap mengajar. Pemahaman memiliki arti mendasar yang meletakan
bagian-bagian belajar pada proporsinya. Tanpa itu, maka skill pengetahuan
dan sikap tidak akan bermakna.
3.
Recall
(Pengulangan)
Mengulang adalah usaha aktif untuk memasukkan
informasi ke dalam
ingatan jangka panjang. Ini dapat dilakukan dengan “mengikat” fakta ke dalam ingatan visual, auditorial, atau fisik.
Otak banyak memiliki perangkat ingatan. Semakin banyak perangkat (indra) yang
dilibatkan, semakin baik pula sebuah informasi baru tercatat. Me-recall tidak
hanya terhadap pengetahuan tentang fakta, tetapi juga mengingat akan konsep
yang luas, generalisasi yang telah didistribusikan, definisi, metode dalam
mendekati masalah. Me-recall,
bertujuan agar siswa memiliki kesempatan untuk membentuk atau menyusun kembali
informasi
yang telah mereka terima.
4.
Digest
(Penelaahan)
Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur melalui sejauh mana siswa dapat menguasai materi
pelajaran yang disampaikan guru. Isi atau materi pelajaran merupakan komponen
kedua dalam sistem pembelajaran. Dalam konteks tertentu, materi pelajaran
merupakan inti dalam proses pembelajaran. Artinya, seringnya terjadi proses pembelajaran diartikan sebagai
proses penyampaian materi. Hal ini bisa dibenarkan jika tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan
materi pembelajaran (subject centere teaching). Untuk
dapat menguasai materi pelajaran siswa tidak hanya berpedoman pada satu buku,
karena pada dasarnya ada berbagai sumber yang bisa dijadikan sumber untuk
memperoleh pengetahuan.
5.
Expand
(Pengembangan)
Pengembangan merupakan
hasil kumulatif dari pada pembelajaran. Hasil dari proses pembelajaran adalah
perubahan perilaku siswa. Individu akan memperoleh perilaku yang baru, menetap,
fungsional, positif, dan
sebagainya. Perubahan perilaku sebagai hasil pembelajaran ialah perilaku secara
keseluruhan yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan motorik.
6.
Review
(Pelajari Kembali)
Pelajari kembali materi pelajaran yang sudah dipelajari.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung dengan efektif apabila informasi
yang dipelajari dapat diingat dengan baik dan terhindar dari lupa. Mengingat
adalah proses menerima, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi yang telah
diterima melalui pengamatan, kemudian disimpan dalam pusat kesadaran setelah
diberikan tafsiran.
Proses mengingat banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
meliputi faktor individu, faktor sesuatu yang harus diingat, dan faktor
lingkungan. Dari individu, proses mengingat akan lebih efektif apabila individu
memiliki minat yang besar, motivasi yang kuat, memiliki metode tertentu dalam
pengamatan dan pembelajaran. Maka dari itulah mempelajari kembali materi yang sudah
dipelajari merupakan usaha agar ingatan itu tidak mudah lepas.
Langkah- langkah penerapan strategi pembelajaran MURDER
adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama berhubungan dengan suasana hati
(mood) adalah ciptakan suasana hati yang positif
untuk belajar. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menentukan waktu, lingkungan, dan sikap belajar yang sesuai dengan
kepribadian siswa.
2. Langkah kedua berhubungan dengan pemahaman
adalah segera tandai bahan pelajaran yang tidak dimengerti. Pusatkan perhatian
pada mata pelajaran tersebut atau ada baiknya melakukan bersama beberapa
kelompok latihan.
3. Langkah ketiga berhubungan dengan pengulangan
adalah setelah mempelajari satu bahan dalam suatu mata pelajaran, segeralah
berhenti. Setelah itu, ulangi membahas bahan pelajaran itu dengan kata-kata
siswa.
4. Langkah keempat yang berhubungan dengan
penelaahan adalah segera kembali pada bahan pelajaran yang tidak dimengerti.
Carilah keterangan mengenai mata pelajaran itu dari artikel, buku teks, atau sumber lainnya. Jika masih belum bisa,
diskusikan dengan guru atau teman kelompok.
5. Langkah kelima berhubungan dengan pengembangan
adalah tanyakan pada diri sendiri mengenai tiga masalah di bawah ini, begitu
selesai mempelajari satu mata pelajaran, yaitu:
a. Andaikan bisa bertemu dengan penulis materi,
pertanyaan atau kritik apa yang diajukan?
b. Bagaimana bisa mengaplikasikan materi tersebut
pada hal yang disukai?
c. Bagaimana bisa membuat informasi ini menjadi
menarik dan mudah dipahami oleh siswa lainnya?
6. Langkah keenam yang berhubungan dengan review adalah pelajari kembali materi
pelajaran yang sudah dipelajari.
H.
Langkah-Langkah
Pembelajaran Kolaboratif
Dalam menerapkan pembelajaran
kolaboratif, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran
kolaboratif sebagai berikut:
1.
Mengajar keterampilan kerja sama,
mempraktikkan, dan balikan diberikan dalam hal seberapa baik
keterampilan-keterampilan digunakan.
2. Kegiatan
kelas ditingkatkan untuk melaksanakan kelompok yang kohesif.
3.
Setiap
individu diberi tanggung jawab untuk kegiatan belajar dan perilaku
masing-masing.
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif
:
1. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar
dan membagi tugas sendiri-sendiri.
2. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan
menulis.
3. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi
mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan
jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan
sendiri.
4. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil
pemecahan masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara
lengkap.
5. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak
(selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk
melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas,
siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi
tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30
menit.
6. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif
melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan
yang akan dikumpulan.
7. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang
telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
8. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan
pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
I.
Kelebihan
dan Kekurangan Pembelajaran Kolaboratif
1.
Kelebihan
a. Siswa belajar bermusyawarah
b. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
c. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
d. Dapat
memupuk rasa kerja sama
e. Adanya
persaingan yang sehat
2.
Kelemahan
a.
Pendapat serta
pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.
b.
Membutuhkan waktu cukup
banyak.
c. Adanya
sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa rendah
diri dan selalu tergantung pada orang lain.
d. Kebulatan
atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai
J.
Contoh Pembelajaran
Kolaboratif di Kelas
Salah satu contoh
strategi pembelajaran kolaboratif adalah card sort. Strategi ini
digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang
obyek, atau mengulangi informasi. Strategi ini menguras banyak energi,
sehingga tidak disarankan digunakan ketika siswa dalam kondisi letih.
Prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Berilah
siswa kartu indeks yang memberikan informasi atau contoh yang cocok dengan satu
atau lebih katagori.
2. Mintalah
siswa untuk mencari temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan
katagori yang sama.
3. Biarkan
siswa yang kartu katagorinya sama menyajikan sendiri kepada yang lainnya.
4. Selagi
masing-masing katagori dipresentasikan, buatlah point dari pembelajaran
tersebut yang dirasakan penting.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembelajaran
kolaborasi atau Collaborative Learning
merupakan model pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam teori belajar.
Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu model pembelajaran dengan
menumbuhkan kerja sama antar siswa, dalam kelompok-kelompok kecil untuk
mencapai tujuan yang sama. Dengan adanya pembelajaran kolaboratif, siswa lebih
aktif dalam melakukan sesuatu, dengan dibentuknya kelompok-kelompok tersebut,
siswa bisa berkomunikasi langsung dengan anggota lain dalam membahas tema yang
telah ditentukan oleh guru. Di samping itu, siswa juga dapat mengembangkan
kemampuan berpikir dan komunikasi. Guru hanya memantau kegiatan siswa selama
pembelajaran, dan guru memberikan pengarahan jika ada siswa yang memerlukan
bantuan. Pembelajaran kolaboratif ini mengajarkan agar siswa berpikir lebih
kritis dan aktif dalam memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang sama.
B.
Saran
Pembelajaran
kolaboratif adalah salah satu metode pembelajaran yang mempunyai banyak
manfaat. Selain dapat menambah pemahaman tentang materi, dengan pembelajaran
ini siswa dapat belajar bersosialisasi. Maka metode pembelajaran kolaboratif
ini sangat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Ruhcitra. 2008.
Pembelajaran Kolaboratif. http://ruhcitra.wordpress.com/2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/
Muawanah, Nurul. 2011.
Teknik Pembelajaran Kolaboratif Murder. http://nurul24.blogspot.com/2011/08/teknik-pembelajaran-kolaboratif-murder.html
Wikipedia. 2011.
Collaborative Learning-Work. http://id.wikipedia.org/wiki/Collaborative_learning-work
Utami, Nurul. 2011.
Pembelajaran Kolaboratif. http://staff.unila.ac.id/nutami/2011/10/05/pembelajaran-kolaboratif/
Mustaji. 2012. Desain
Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi. http://pasca.tp.ac.id/site/desain-pembelajaran-dengan-menggunakan-model-pembelajaran-kolaborasi-untuk-meningkatkan-kemampuan-berkolaborasi
Karwapi, Muhammad.
2012. Model Pembelajaran Kolaboratif Sebagai Salah Satu Model Pembelajaran yang
Dilaksanakan dalam Rangka Mencapai Tujuan Pembelajaran. http://karwapi.wordpress.com/2012/11/15/model-pembelajaran-kolaboratif-sebagai-salah-satu-model-pembelajaran-yang-dilaksanakan-dalam-rangka-mencapai-tujuan-pembelajaran/
Jannah, Iftihatin.
2012. Strategi Belajar Mengajar “Kolaboratif”. http://ifti-aboutifti.blogspot.com/2012/05/strategi-belajar-mengajar-kolaboratif.html
Herlanti. 2011.
Pembelajaran Kolaboratif. http://yherlanti.wordpress.com/2011/09/18/pembelajaran-kolaboratif/
Ayandaru, R. Hidayat.
2013. Paradigma Guru pada Pembelajaran Abad 21 (21st Century Learning). http://satyawiyatama.blogspot.com/2013/02/paradigma-guru-pada-pembelajaran-abad_16.html
Terima kasih atas ilmu yang telah dibagi, Pak. Semoga bermanfaat serta mendapat balasan pahala.
BalasHapus